Sawah tersebut terpusat di satu titik dan menyebar membentuk lingkaran. Sawah yang aneh, pikir saya. Bentuknya lain dari sawah pada umumnya.
Sawah Lingko - namanya atau dulu disebut Kebun Adat, terletak di Kabupaten Manggarai. Kurang lebih hanya 1 jam perjalanan dari tempat kami menginap di pusat kota Ruteng. Dari tempat mobil terparkir, kami harus berjalan sekitar 5 menit ke atas bukit. Jangan lupa untuk mengisi buku tamu dan memberikan donasi seikhlasnya di salah satu rumah di atas.
Adalah suatu keberuntungan bagi kami karena ketika tiba di atas, warna hijau terhampar dengan dilatarbelakangi oleg gunung yang cantik. Terkadang beberapa wisatawan hanya melihat hamparan sawah kosong saja.
Pak Yoakhim pun mulai memberikan penjelasan mengenai Sawah Lingko tersebut. Dia berkata, Suku Manggarai percaya bahwa segala sesuatu memiliki pusat yang mengontrol semuanya dan hal tersebut tercermin pada pembangunan jenis rumah adat Suku Manggarai dan kebun adatnya - yang terpusat dari satu titik.
Upacara Adat harus dilangsungkan pada musim tanam dan musim panen. Upacara dilakukan di titik pusat tersebut dengan mengorbankan babi atau ayam kecil dan darahnya ditanam dalam tanah. Jika seorang tidak melakukannya, maka akan dikenakan sanksi adat dan dalam kurun waktu tertentu dia menjadi orang yang tidak beruntung seperti hasil panen gagal atau tanamannya dimakan oleh hama.
Satu pusat sawah dimiliki oleh satu suku dan anggota keluarganya. Namun karena terjadi pergeseran, saat ini sawah boleh dimiliki oleh siapa saja. Penanaman dilakukan secara serentak atau dengan jarak waktu yang berdekatan. Ini dimaksudkan untuk mengurangi serangan hama berupa burung pipit. Begitu papar beliau secara garis besar.